Apakah Anak SD Perlu Tugas Rumah?
![]() |
| Apakah Anak SD Perlu Tugas Rumah |
Ketika Anak Pulang Sekolah Tapi Bebannya Belum Berhenti
Kasakti.com - Aku melihat seorang anak SD pulang dengan tas besar yang nyaris setinggi tubuhnya. Di tangannya tergenggam buku-buku tebal, lembar PR yang belum selesai, dan wajah yang tampak lelah meski baru pukul tiga sore.
“Ibu, aku capek banget. Aku cuma mau main sebentar,” katanya lirih. Tapi PR menanti di meja. Dan anak itu harus menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dilakukan di sekolah, sementara masa kecilnya menguap di balik buku tulis dan soal matematika.
Pertanyaannya sederhana namun menggigit: Apakah anak SD benar-benar perlu PR sekolah? Atau apakah sistem ini telah salah arah, menekan kreativitas dan kebahagiaan anak sebelum mereka benar-benar belajar hidup?
PR Sekolah: Alat Belajar atau Beban Tak Perlu?
Sejak dulu, PR dianggap sebagai sarana memperkuat pelajaran di sekolah. Tapi realitasnya, banyak PR di tingkat SD justru membuat anak frustasi dan orang tua kewalahan. Anak-anak yang seharusnya bermain, mengeksplorasi, dan belajar melalui pengalaman justru duduk diam menghafal jawaban.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa PR tidak meningkatkan prestasi anak SD secara signifikan. Bahkan, beban PR yang berlebihan dapat menimbulkan stres, konflik keluarga, dan rasa tidak suka pada sekolah.
Sistem Pendidikan yang Menindas Masa Kecil
Jika kita melihat lebih dalam, PR di SD adalah bagian dari sistem yang terlalu fokus pada kuantitas belajar daripada kualitas. Anak-anak dievaluasi melalui angka, lembar jawaban, dan skor tes. Kreativitas, empati, dan kecerdasan emosional sering tidak masuk hitungan.
Dan ketika anak-anak disibukkan dengan PR setiap hari, waktu untuk bermain, berinteraksi, atau sekadar berimajinasi hilang. Sistem pendidikan seharusnya membentuk manusia, bukan robot yang patuh pada jadwal dan angka.
1. Beban Orang Tua
PR tidak hanya membebani anak, tapi juga orang tua. Banyak orang tua yang harus mengorbankan waktu kerja atau waktu istirahat untuk mendampingi anak menyelesaikan tugas yang terkadang membingungkan. Ini menunjukkan ketidakefektifan PR sebagai alat belajar.
2. Kreativitas Terkekang
PR yang menuntut jawaban benar/salah dan hafalan membuat anak takut mencoba, takut salah, dan kehilangan rasa ingin tahu alami. Pendidikan yang seharusnya membebaskan imajinasi justru menjadi penjara kecil di rumah.
3. Stres dan Kesehatan Mental
Anak-anak SD belum sepenuhnya mengerti tanggung jawab akademik. PR yang berlebihan bisa memicu stres, rasa cemas, dan rasa gagal dini yang berdampak jangka panjang.
Narasi Anak yang Terpinggirkan
Aku pernah melihat seorang anak perempuan menangis di meja makan. Ia ingin bermain dengan adiknya, tapi PR matematika menuntut perhatian. Ia bilang, “Aku cuma mau main sebentar. Tapi aku nggak boleh.”
Betapa tragisnya, sistem pendidikan yang seharusnya mendukung tumbuh kembang anak justru menjadi sumber tekanan pertama dalam hidup mereka. Masa kecil mereka dibatasi oleh buku dan soal yang seharusnya menjadi alat bantu, bukan belenggu.
Kritik Tajam terhadap Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan yang memaksakan PR pada anak SD lebih banyak merugikan daripada manfaat. Kita bicara tentang anak-anak yang seharusnya belajar melalui eksplorasi, permainan, dan interaksi sosial.
PR yang berlebihan menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih mengadopsi budaya kuantitas dan kepatuhan, bukan kualitas belajar dan pengembangan karakter. Dan ironisnya, semua ini dilakukan dengan dalih “memperkuat materi sekolah.”
Ajakan Moral: Kembalikan Masa Kecil pada Anak
Apakah anak SD perlu PR? Bukan pertanyaan sederhana, tapi satu yang jelas: mereka perlu waktu untuk tumbuh, bermain, dan belajar melalui pengalaman. PR boleh ada, tapi seharusnya proporsional, relevan, dan memotivasi, bukan menekan dan membosankan.
Sistem pendidikan harus diingatkan: masa kecil adalah hak anak, bukan proyek akademik semata. Jika kita tidak memperhatikan ini, kita bukan mendidik generasi cerdas, tapi generasi yang lelah sebelum sempat menikmati hidup.
Sudah waktunya bertanya: apakah kita menyiapkan anak untuk hidup, atau hanya menyiapkan mereka untuk mengerjakan PR setiap malam?

Kasakti